Yang
dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan
anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah
seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan
logika.
Dalil
Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ
قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq:
7).
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya
dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya
kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak,
termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah
dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan
dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang
mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari
Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ
اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا
تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah
kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena
kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian
adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian
tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka
nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari
Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban
suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا
إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ
وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau
memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan
engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya
serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah”
(HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari
Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi
untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil
uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan
anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu
berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?
Disebutkan
dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan
anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil
di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
Mencukupi
istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
Dilihat
dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki
ataukah tidak.
Termasuk
dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri.
Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.
Mencari
nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena
itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.
0 comments:
Post a Comment